Langsung ke konten utama

Tiga Dosa Besar Didunia Pendidikan

 Tiga Dosa Besar Didunia Pendidikan



1. Perundungan 

Perundungan atau Bullying berasal dari bahasa Inggris: penindasan, penyiksaan, perundungan, atau pengintimidasian, yakni menggunakan ancaman, kekerasan, atau paksaan dalam rangka menyalahgunakan, mendomniasi atau mengintimidasi (KBBI, 2023). Bullying adalah sub kategori perilaku agresif yang ditandai dengan niat bermusuhan, ketidakseimbangan kekuatan, dan pengulangan selama periode waktu tertentu (Burger et al., 2015). Bullying dapat dilakukan secara individu atau kelompok, yang disebut mobbing, di mana pengganggu mungkin memiliki satu atau lebih "letnan" yang bersedia membantu pengganggu utama. 

Bullying di sekolah dan tempat kerja juga disebut sebagai "peer abuse" (Busby et al., 2022). Bullying terjadi ketika seseorang "terpapar, berulang kali dan dari waktu ke waktu, tindakan negatif pada bagian dari satu atau lebih orang lain", dan tindakan negatif terjadi "ketika seseorang sengaja menimbulkan cedera atau ketidaknyamanan pada orang lain, melalui kontak fisik, melalui kata-kata atau dengan cara lain" (Rueda et al., 2022). Bullying individu biasanya ditandai dengan seseorang yang berperilaku dengan cara tertentu untuk mendapatkan kekuasaan atas orang lain (Burger at.al. 2015). 

Perilaku bullying sering diulang dan menjadi kebiasaan. Salah satu prasyarat penting adalah persepsi oleh pengganggu atau oleh orang lain ketidakseimbangan kekuatan fisik atau sosial. Ketidakseimbangan ini membedakan bullying dari konflik (Juvonen & Graham, 2014). Budaya intimidasi dapat berkembang dalam konteks apa pun di mana manusia berinteraksi satu sama lain. Ini mungkin termasuk sekolah, keluarga, tempat kerja, rumah, dan lingkungan. 

Platform utama untuk intimidasi dalam budaya kontemporer ada di situs web media sosial. Bullying dibagi menjadi empat jenis dasar pelecehan psikologis (kadang disebut emosional atau relasional), verbal, fisik, dan cyber. Perilaku yang digunakan untuk menegaskan dominasi tersebut dapat mencakup serangan fisik atau paksaan, pelecehan verbal, atau ancaman, dan tindakan tersebut dapat diarahkan berulang kali ke target tertentu. Rasionalisasi perilaku tersebut terkadang mencakup perbedaan kelas sosial, ras, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, penampilan, perilaku, bahasa tubuh, kepribadian, reputasi, garis keturunan, kekuatan, ukuran, atau kemampuan. Jika bullying dilakukan oleh suatu kelompok, itu disebut mobbing (Kumar & Sachdeva, 2019). 

2. Intoleransi 

Kata intoleransi berasal dari prefik in- yang memiliki arti "tidak, bukan" dan kata dasar toleransi (n) yang memiliki arti "1) sifat atau sikap toleran; 2) batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan; 3) penyimpangan yang masih dapat diterima dalam pengukuran kerja." Dalam hal ini, pengertian toleransi yang dimaksud adalah "sifat atau sikap toleran". Kata toleran (adj) sendiri didefinisikan sebagai "bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri" (KBBI, 2023). 

Intoleransi beragama adalah suatu kondisi jika suatu kelompok (misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama) secara spesifik menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama. Namun, pernyataan bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah benar sementara agama atau kepercayaan lain adalah salah bukan termasuk intoleransi beragama, melainkan intoleransi ideologi (Sukmayadi et al., 2023). Kata keberagamaan (n) memiliki arti "perihal beragama". Sementara kata beragama (v) didefinisikan sebagai "1 menganut (memeluk) agama; 2 beribadat; taat kepada agama; baik hidupnya (menurut agama)" (KBBI, 2023). Dengan demikian, intoleransi keberagamaan dapat didefiniskan sebagai "sifat atau sikap yang tidak menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) perihal keagamaan yang berbeda atau bertentangan dengan agamanya sendiri." Menurut sejarawan Inggris abad ke-19 bernama Arnold Toynbee, suatu pembentukan agama yang menganiaya agama lain karena "dianggap salah", ironisnya membuat agama yang menganiaya menjadi salah dan merusak legitimasinya sendiri. Konsep modern mengenai intoleransi berkembang dari kontroversi religius antara Kristen dan Katolik pada abad ke-17 dan 18 di Inggris. 

Doktrin mengenai "toleransi beragama" pada masa tersebut bertujuan untuk menghilangkan sentimen-sentimen dan dogma-dogma beragama dari kepemilikan politik (Lee, 2022). Dengan penduduknya yang majemuk, sudah menjadi barang tentu menumbuhkan sikap toleransi adalah suatu kewajiban bagi penduduknya. Sikap toleransi ini agar terciptanya hubungan warga negara yang baik satu sama lain. Sebenarnya bukan hanya ada tataran di dalam negeri saja kita harus memiliki sikap toleran, melainkan dalam hal apapun dan dimanapun saat kita menemukan sebuah perbedaan. Menguatnya sentimen keetnisan terkait dengan sebuah situasi ketidakadilan di berbagai bidang termasuk ekonomi dan politik, sosial dan budaya yang dihadapi oleh sebuah kelompok etnis, baik berupa pengabaian, eksploitasi, dominasi, represi atau diskriminasi (Sari & Samsuri, 2020). 

Di Indonesia, tindakan mendiskriminasi siswa yang berbeda agama bukanlah hal yang baru. Kasus di DKI Jakarta, seorang guru mengirim pesan di Grup WhatsApp siswa agar memiliki Ketua OSIS yang se-akidah. Di berbagai sekolah ditengarai kasus intoleransi tidak hanya terjadi di satu-dua sekolah. Sejumlah penelitian menunjukkan, praktik intoleransi keagamaan di Indonesia dan berbagai belahan dunia meningkat dari tahun ke tahun (Mujani, 2020). Bentuk-bentuk tindakan intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia bukan hanya berupa diskriminasi perlakuan terhadap agama minoritas, pembatasan aktivitas ibadah, pelarangan pendirian tempat ibadah, tetapi juga terjadi di sekolah. 

Pew Research Center (2018) mencatat terjadinya peningkatan praktik intoleransi keagamaan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas. Dari 198 negara yang disurvei, Pew Research Center menemukan 28% di antaranya melakukan pembatasan ketat atau sangat ketat terhadap aktivitas keagamaan minoritas melalui undang-undang atau tindakan aparat negara. Di samping itu, terdapat 27% negara yang memiliki tingkat kekerasan terhadap agama yang tinggi atau sangat tinggi yang dilakukan oleh individu atau organisasi nonnegara. Secara keseluruhan, terdapat 83 negara (42%) yang memiliki tingkat pembatasan atau pelarangan aktivitas keagamaan yang tinggi atau sangat tinggi di seluruh dunia. Di Indonesia, salah satu hal yang mencemaskan adalah ketika praktik intoleransi mulai banyak bermunculan di institusi pendidikan. 

Studi Suyanto (2019) dari FISIP Universitas Airlangga menemukan di kalangan pelajar, sikap dan perilaku intoleransi di berbagai sekolah telah berkembang dalam skala yang cukup meresahkan. Sekolah tidak hanya menjadi tempat bagi pelajar untuk belajar dan menuntut ilmu demi masa depannya, tetapi juga menjadi ruang bagi terjadinya infiltrasi pengaruh buruk dalam pergaulan sosial terhadap sesama pelajar. Meski 67,6% responden mengaku tidak pernah melakukan tindakan intoleransi kepada pelajar yang lain, tetapi sebanyak 32,4% mengaku pernah, sedangkan 29,2% mengaku jarang dan 3,2% mengaku sering. Memang, tidak selalu setiap waktu para pelajar melakukan tindakan intoleran kepada teman sekolahnya. 

Pada saat tidak ada momen yang memungkinkan dan menstimulasi mereka melakukan tindakan intoleran, kehidupan dan pola pergaulan antarpelajar di sekolah berlangsung biasa-biasa saja. Tetapi, lain soal ketika ada momen yang menstimulasi kemungkinan pelajar tertentu melakukan tindakan intoleransi kepada pelajar yang lain. Studi ini menemukan, pada saat ramai perbincangan tentang pemilu, misalnya, sebagian pelajar terkadang terdorong melakukan tindakan intoleransi kepada pelajar yang lain. 

Perbedaan ideologi dan siapa tokoh yang mereka idolakan dalam pemilu menyebabkan sebagian pelajar tak segan melakukan tindakan intoleransi kepada temannya. Bersikap dan bertindak intoleran bagi sebagian pelajar sudah bukan hal yang terlalu mengherankan. Tidak hanya melakukan tindakan intoleransi yang dilandasi oleh sikap menolak perbedaan, dalam kehidupan sehari-hari di sekolah sebagian pelajar mengaku juga terbiasa melakukan tindakan perundungan atau persekusi. 

Sebanyak 36,2% responden mengaku pernah melakukan tindakan perundungan meski intensitasnya jarang. Sementara itu, sebanyak 5,8% responden mengaku sering melakukan tindakan persekusi kepada teman yang lain. Bentuk persekusi yang dilakukan pelajar kepada teman-temannya sebagian besar (33%) dalam bentuk verbal abuse, yakni berkata kasar, seperti memaki, menghardik, dan sejenisnya yang menyakitkan hati. Sementara itu, bentuk persekusi lain adalah melakukan tindakan bullying (14,4%), menyebarkan rumor yang tidak benar (11,4%), atau melakukan tindakan fisik kepada temannya, seperti memukul, menendang, dan sejenisnya (6,4%). Kita perlu mengidentifikasi segala bentuk intoleransi yang kemungkinan bisa terjadi di lingkungan sekolah, seperti: 1. Mewajibkan siswa berbeda agama mengikuti mata pelajaran agama tertentu (kecuali sekolah dengan basis agama). 2. Wajib ikut ritual keagamaan tertentu (kecuali sekolah dengan basis agama) 3. Memukul rata kewajiban siswa mampu dan tidak mampu. Beberapa program sekolah kadang membuat mereka makin tidak berdaya. Maka dari itu, pihak sekolah harus mempertimbangkan setiap program sekolah yang dibuat, apakah sesuai atau tidak dengan kondisi siswa-siswinya (Hulu, 2023). 

3. Kekerasan Seksual 

Kekerasan seksual adalah sebuah tindakan pelecehan seksual terhadap seseorang tanpa adanya persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Hal ini termasuk tindakan seksual terhadap anak yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada anak atau individu yang terlalu muda untuk menyatakan persetujuan, ini disebut dengan pelecehan seksual terhadap anak. Kekerasan seksual pada pasangan sah (suami-istri) adalah salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Ketika kekerasan dilakukan dengan ancaman kontak seksual yang tidak diinginkan atau seks paksa oleh suami atau mantan suami seorang perempuan, maka hal itu dapat dianggap sebagai pemerkosaan, tergantung pada yurisdiksinya, dan dapat juga digolongkan sebagai penyerangan (Khandpur, 2015).

 Kekerasan seksual pada anak adalah suatu bentuk pelecehan seksual pada anak di mana seorang anak digunakan sebagai pelampiasan kepuasan seksual orang dewasa atau remaja yang lebih tua (Miranda et al., 2020). Bentuk kekerasan seksual terhadap anak dapat berupa kontak seksual langsung, orang dewasa atau orang yang lebih tua yang memperlihatkan hal tidak senonoh (alat kelamin, puting wanita, dan atau lainnya) kepada seorang anak dengan maksud untuk memuaskan hasrat seksual mereka sendiri atau untuk menindas dan memikat anak tersebut, meminta atau menekan seorang anak untuk berhubungan seksual, menampilkan pornografi kepada seorang anak, atau menggunakan seorang anak untuk memproduksi pornografi (Duarte et al., 2022). 

Data Komnas Perempuan (2022), terkait kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dalam rentang waktu 2015-2021, terdapat 67 kasus kekerasan seksual. Perguruan tinggi sebagai penyumbang kasus terbanyak. Setidaknya sepanjang Januari-Juli 2022, terdapat 12 kasus kekerasan seksual di sekolah. Sebanyak 25 persen di antaranya terjadi di dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek dan 75 persen di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Kasus yang mencuat belakangan ini di antaranya pemerkosaan santriwati di Pondok Pesantren Shiddiqiyah-Jombang dan Pondok Pesantren Madani-Bandung hingga dugaan pelecehan seksual yang terjadi di SMA Selamat Pagi Indonesia-Malang. Penanganan kasus berjalan lambat Meskipun banyak kasus telah dilaporkan, menurut Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, penanganan kasus kejahatan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah berjalan sangat lambat, khususnya dalam klaim keadilan dan pemulihan korban (Aprilianda et al., 2022). 

Ironisnya lagi, di beberapa kasus, masyarakat bahkan mencoba menghalangi penangkapan pelaku hanya karena pelaku merupakan tokoh penting dan berpengaruh sehingga mengabaikan hak korban. Alasannya, menurut Aminah, begitu kuatnya relasi kuasa dari para pelaku, ditambah lagi banyak masyarakat lebih memercayai seseorang yang memiliki otoritas keilmuan dan keagamaan sehingga mengabaikan hak korban. Tidak hanya itu, respons yang lambat dari pihak institusi pendidikan untuk menangani kasus kekerasan seksual juga menjadi hambatan tersendiri karena alasan menjaga nama baik lembaganya di mata publik. Ditambah lagi, adanya sanksi sosial berupa stereotip negatif dari masyarakat kepada korban dan penyintas kejahatan seksual, khususnya bagi korban perempuan, sehingga membuat korban tidak berdaya dan banyak yang memilih untuk bungkam dan tidak melaporkan kasusnya.

Kekerasan seksual, bisa terjadi karena tiga variabel penting, yakni kekuasaan, konstruksi sosial dan target kekuasaan. Terkait dengan kekuasaan, ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban adalah salah satu alasan kuat terjadinya pelecehan seksual. Misalnya dalam konteks lembaga pendidikan, guru yang melakukan kejahatan seksual kepada muridnya terjadi karena ia merasa memiliki kekuatan dibandingkan muridnya, dan di banyak kasus sudah sering terjadi. Dengan adanya konstruksi sosial dalam kerangkeng budaya patriarki yang menempatkan posisi laki-laki sebagai 'superior' dibandingkan perempuan yang 'submisif' sehingga menghalalkan pelecehan seksual (Fushshilat & Apsari, 2020). Tidak hanya itu, budaya victim-blaming (menyalahkan korban) juga menjadi pemicu terjadinya pelecehan seksual. Banyak korban pelecehan seksual yang enggan melaporkan kasusnya dengan alasan takut disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga sikap sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pelecehan seksual. Dengan alasan ini tentunya pelaku merasa diuntungkan karena korban akan menjadi target ideal sebagai pihak yang disalahkan dalam kasus itu. 

Memerangi kejahatan seksual, khususnya di lingkungan pendidikan adalah hal wajib dan tanggung jawab bersama. Namun mencegah dan menangani kasus kejahatan seksual bukanlah hal mudah dan perlu melibatkan banyak pihak. Beberapa upaya dan strategi bisa dilakukan untuk memerangi kejahatan di lingkungan pendidikan, antara lain: Permendikbud 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan harus terus disosialisasikan kepada Dinas-Dinas Pendidikan di seluruh Indonesia (Salamor & Salamor, 2022). Mirisnya masih banyak yang belum mengetahui peraturan tersebut. Regulasi serupa juga seharusnya dilakukan oleh Kementerian Agama untuk memastikan terdapatnya sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk kekerasan seksual. 

Melalui kritikannya, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriawan Salim, menilai Kementerian Agama lambat merespons dan membuat regulasi atau aturan khusus untuk mencegah kejahatan seksual, sementara fakta di lapangan menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terus terjadi. Masih terkait dengan regulasi, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga harus terus disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat untuk membantu korban supaya bersuara tentang kekerasan yang dialaminya. Di sisi lain, edukasi tentang pelecehan seksual juga perlu digalakan di lingkungan kampus dan masyarakat. Hal ini penting karena banyak pelajar, mahasiswa, hingga masyarakat yang belum paham betul apa itu kekerasan seksual dan bentuknya. Edukasi untuk menghentikan kekerasan seksual juga bisa dilakukan oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat melalui kampanye aktif secara luring ataupun daring dengan memanfaatkan media sosial, influencer, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan lainnya. Hal lain yang bisa dilakukan adalah partisipasi aktif lembaga pendidikan untuk menolak secara tegas kekerasan seksual di lingkungan sekolah maupun kampus (Rusyidi et al., 2019).

 Hal itu tercermin melalui kurikurulum pembelajaran dan ruang sekolah atau kampus yang aman dengan memasang papan atau simbol yang tidak mentoleransi segala bentuk kejahatan seksual. Atau bekerjasama dengan pemerintah untuk menyediakan gugus tugas pencegahan kekerasan seksual di lingkungan sekolah atau kampus supaya peserta didik bisa mendapatkan bantuan bila mereka mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Sebagai upaya untuk membantu korban atau penyintas kekerasan seksual, pemerintah bekerjasama dengan berbagai pihak juga harus menyediakan layanan dan konsultasi medis terpadu yang mudah diakses. Hal ini penting untuk memberikan dukungan moril bagi korban untuk berani bersuara dan pulih dari pengalamannnya untuk masa depan mereka yang lebih baik. Pasalnya, tidak jarang mereka justru mendapatkan tekanan dan perlakuan tidak menyenangkan dari orang-orang terdekat.

Referensi:

El Syam, R. S., & An, M. Y. (2023). Rekognisi moderasi beragama melalui deklarasi tiga dosa besar pendidikan di SMP Pelita Al-Qur’an Wonosobo. Cendekia: Jurnal Ilmu Sosial, Bahasa Dan Pendidikan3(4), 17-31.

Surani, D., Handoyo, A. W., Zakiyyah, N., Jauza, R. H., Damayanti, I. P., & Saptia, S. (2024). Seminar Pengenalan Dan Pemahaman 3 Dosa Besar Pendidikan Di Smks Arrasyadiyyah. Jurnal Abdimas Bina Bangsa5(2), 904-911.

Anwar, R. N., Apriliani, M. P., Arumsari, W. P. K., Suyanto, A. N. U., Permatasari, A. I., & Wardana, V. D. (2024). Pencegahan Tiga Dosa Besar Pendidikan untuk Membentuk Karakter Siswa yang Berintegritas Bagi Siswa SMP di Kabupaten Madiun. Jurnal Pengabdian Masyarakat2(1), 118-126.

Mulyadi, B., Geasantri, Y., Julistian, A., AB, M. C., Yholanda, A., Ulfah, U., ... & Hananda, G. (2023). Upaya penghapusan 3 dosa besar dalam dunia pendidikan. Pendidikan Karakter Unggul1(4).

Nuriafuri, R., Rakhmawati, D., & Handayani, A. (2024). Penanaman nilai-nilai karakter siswa dalam upaya pencegahan terjadinya 3 dosa besar dunia pendidikan. Didaktik: Jurnal Ilmiah PGSD STKIP Subang10(1), 659-669.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANCASILA DASAR NEGARA

PANCASILA DASAR NEGARA OLEH F.X. Welly Dalam perjalanan sejarah, kedudukan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara mengalami pasang surut baik dalam pemahaman maupun pengamalannya. Setelah runtuhnya Orde Baru Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Bahkan banyak kalangan menyatakan bahwa sebagian masyarakat bangsa Indonesia hampir melupakan jati dirinya yang esensinya adalah Pancasila. Pancasila nampak semakin terpinggirkan dari denyut kehidupan bangsa Indonesia yang diwarnai suasana hiruk-pikuk demokrasi dan kebebasan berpolitik. Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm) yang menjadi payung kehidupan berbangsa yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Sesungguhnya Pancasila bukan milik sebuah e...
  NARKOBA ? Narkoba, singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, merupakan masalah serius yang mengancam generasi muda dan masa depan bangsa. Dampak negatif narkoba tidak hanya merusak kesehatan fisik dan mental individu, tetapi juga menghancurkan kehidupan sosial dan ekonomi keluarga serta masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk memahami bahaya narkoba dan mengambil langkah-langkah pencegahan yang efektif.   Bahaya Narkoba bagi Kesehatan   Narkoba memiliki efek merusak pada hampir semua organ tubuh. Penggunaan narkoba dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan serius, seperti:   - Kerusakan Otak: Narkoba dapat merusak sel-sel otak dan mengganggu fungsi kognitif, seperti memori, konsentrasi, dan kemampuan belajar. - Penyakit Jantung: Narkoba dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, seperti serangan jantung, gagal jantung, dan aritmia. - Kerusakan Hati: Narkoba dapat menyebabkan kerusakan hati, seperti hepatitis dan sirosis...
Filsafat René Descartes tentang Tuhan René Descartes, seorang filsuf dan matematikawan Prancis abad ke-17, memiliki pandangan yang khas dan berpengaruh tentang Tuhan. Dalam karyanya, terutama Meditations on First Philosophy, Descartes menggunakan argumen-argumen filosofis untuk membuktikan keberadaan Tuhan dan menjelaskan sifat-sifat-Nya. Ajaran Descartes tentang Tuhan 1. Keberadaan Tuhan sebagai Kepastian: Descartes menggunakan argumen ontologis dan argumen kosmologis untuk membuktikan keberadaan Tuhan. - Argumen Ontologis: Descartes berpendapat bahwa ide tentang Tuhan sebagai makhluk yang sempurna secara inheren mengandung keberadaan. Karena kesempurnaan mencakup keberadaan, maka Tuhan pasti ada. Jika Tuhan tidak ada, maka Ia tidak akan menjadi makhluk yang sempurna. - Argumen Kosmologis: Descartes berpendapat bahwa segala sesuatu pasti memiliki penyebab. Karena manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan terbatas, maka ia tidak mungkin menjadi penyebab keberadaannya sendiri. Oleh...