Berapi-api berbusa soda
Menggedor-gedor dinding rasa
Mengobrak-abrik pertahanan logika
Agar misi aneksasi tak diterka
Rasa dalam hati kian menyala
Melompat rasio keluar dari kepala
Logika diperdaya retorika
Air mata menambatkan hati seketika
Nada tinggi teriak pengkhotbah penuh ambisius.
Mengulang kembali doktrin gereja abad tengah, extra ecclesiam nulla salus.
Luasnya Rahmat yang di Atas, dibonsai oleh sebuah komunitas.
Seperti para pemecah selaput lingga, mendaulat diri pemilik kunci surga.
Muncurlah argumentum ad verecundiam, agar diktum sektarian kian menghujam.
Katanya, "dengan paduka di alam gaib kami terkoneksi, keselamatan di luar kami tidak digaransi".
Nama didesign taksa, terjadilah bias makna.
Orang-orang serasa mengabdi yang kuasa, nyatanya hanya membudak pada para perampok massa.
Logika persaingan diamputasi
Dengan retorika persatuan
Yang beda dituding mengancam harmoni
Sesungguhnya hanya mengancam dominasi
Begitulah retorika tanpa logika, normalisasi perbudakan atas nama persatuan.
Bukankah lebih baik berpisah, asal tetap merdeka?
Bukankah karena berbeda, kita harus bersatu?
Lantas mengapa demi persatuan, tak boleh berbeda?
Berjam-jam pangkhotbah membual, jiwa-jiwa terbuai.
Ketika kondisi kembali normal, semua telah usai.
Sudah terlambat, hati telah terikat.
Hanyut? Manut !!!
Melawan? Singkirkan !!!
Berapi-api menentang arus air
Diam-diam menenteng ember
Air yang dicela
Diminum jua
Dekrit tetua hipokrit
Politik kaum munafik
Retorika tanpa logika
Dibabat pedang filsafat hancur remuk tak bermakna.
Komentar
Posting Komentar