Fungsi hukum terhadap moral ada empat macam:
Pertama, mentransformasikan kaidah moral yang bersifat individul menjadi kaidah hukum yang bersifat kolektif untuk mengatur masyarakat. Dalam substansi transformasi kaidah moral menjadi kaidah hukum mencakup pula transformasi sanksi moral yang bersifat personal dan batiniah menjadi sanksi hukum yang bersifat kolektif (negara atau masyarakat) dan lahiriah.
Transformasi kaidah moral menjadi kaidah hukum dlakukan melalui proses legislasi. Perbuatan-perbuatan yang bersifat immoral ditransformasikan menjadi menjadi perbuatan melawan hukum (illegal) atau perbuatan kriminal (tindak pidana). Kaidah moral yang ditransformasikan menjadi kaidah hukum perdata misalnya perbuatan mengingkari janji, pelanggaran prinsip iktikad baik, perbuatan merugikan kepentingan orang lain. Adapun beberapa contoh kaidah moral yang ditransformasikan menjadi kaidah hukum pidana meliputi pembunuhan, perkosaan, pencurian, dan perzinahan.
Norma-norma sopan santun menjadi norma hukum, padahal sopan santun itu bagian dari moral atau etika yang kemudian menjadi norma hukum karena norma- norma itu berlaku secara moral, kemudian dijadikan itu hukum juga, sehingga norma mopral akan lebih efektif bagi hidup bermasyarakat, dengan demikian antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan.
Ditransformasikannya kaidah moral menjadi kaidah hukum berarti kedudukan kaidah moral sebagai salah satu norma dalam pergaulan hidup masyarakat menjadi semakin kuat karena kaidah moral bukan lagi hanya kaidah intern personal, tapi juga sudah menjadi kaidah antar personal (sosial) yang ditegakkan melalui institusi hukum formal negara (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan).
Kedua, memperkuat kedudukan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan personal dan sosial, khususnya nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah moral yang ditransformasikan menjadi kaifah hukum. Upaya memperkuat nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah moral dilakukan melalui proses penegakan hukum yang berjalan secara efektif dan efisien. Penegakan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kaidah hukum yang bersumber daeri kaidah-kaidah moral yang berjalan efektif dan efisen bukan hanya berimplikasi kepada kepatuhan masyarakat terhadap hukum, tetapi juga mendorong ketaatan masyarakat terhadap kedudukan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah moral berlandaskan kesadaran diri.
Ketiga, hukum dapat mementuk moralias baru dalam kehidupan masyarakat guna menciptakan ketertiban dalam interaksi sosial. Pembentukan moralitas baru dilakukan melalui penetapan perbuatan-perbuatan yang tidak bersumber kepada kaidah-kaidah moral menjadi perbuatan yang dilarang (tindak pidana) yang disertai ancaman sanksi pidana tertentu. Misalnya, perbuatan dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Banyak sekali warganegara yang tidak mengetahui bahwa dia punya kewajiban hukum untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak guna mendapatkan NPWP. Hanya sebagian kecil warga negara yang menyadari bahwa dia dia punya kewajiab moral (hukum) untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak guna mendapatkan NPWP.
Adanya kewajiban moral untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak guna mendapatkan NPWP baru muncul setelah undang-undang memerintahkannnya demikian. Tanpa ada perintah undang-undang, maka tidak ada kewajiban moral untuk mendaftarkan diri ke kantor pajak guna mendapatkan NPWP. Menurut kesadaran moral masyarakat, perbuatan dengan sengajaa. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP bukan perbuatan tercela secara moral jika undang-undang tidak menyatakannya demikian. Dalam konteks ini undang-undanglah yang membentuk moralitas baru dalam kehidupan masyarakat.
Kelompok tindak pidana yang dapat membentuk moralitas baru dalam
kehidupan masyarakat terutama berkaitan dengan tindak pidana administratif.
Keempat, hukum melembagakan model pertanggungjawaban moral yangberlandaskan prinsip indeterminisme sebagai dasar pertanggungjawaban hukum. Dalam perspektif moral, hanya perbuatan seseorang yang dilakukan secara bebas, dengan penuh kesadaran, dan tanpa paksaan dari orang lain yang dapat dinilai sebagai perbuatan baik atau buruk. Artinya, perbuatan yang dilakukan seseorang secara bebas dan tanpa paksaan adalah perbuatan yang secara sadar dipilih untuk dilakukan oleh pelakunya, dan karena itu jika perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang salah, ia dapat dimintai pertanggungjawaban (dipersalahkan) atas perbuatannya itu.
Model pertanggungjawaban moral ini
kemudian dijadikan sebagai dasar pertanggungjawaban
hukum. Perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan seseorang secara sadar tanpa
paksaan dari orang lain dapat
dimintai pertanggungjawaban hukum, dan jika pelaku terbukti bersalah,
maka dia dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan tingkat kesalahannya. Asasnya,
tiada hukuman tanpa kesalahan (geen straf
zonder schuld). Kesalahan dalam hukum pidana dapat berupa kesengajaan
(dolus) yang esensinya bahwa terdakwa menghendaki (willen) dan mengetahui perbuatan terlarang yang dilakukannya, dan berupa kealpaan (culpa) yang secara konseptual
bermakna adanya kelalaian atau ketidakhati-hatian dalam diri seseorang
ketika melaksanakan suatu kegiatan yang merugikan orang lain.
Terimaksih sudah berkunjung...
Komentar
Posting Komentar