CINTA DALAM PANDANGAN FILSAFAT EKSISTENSIALISME SARTRE
Cinta menjadi perhatian yang
sangat menarik untuk didiskusikan maupun dalam rangka ditelaah serta dikaji.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan cinta memiliki keunikannya tersendiri
untuk dibicarakan. Setiap orang memaknai serta mengartikan istilah cinta ini
tanpa batas, sangat beragam dan memiliki perbedaan antara satu dengan yang
lainnya. (Maharani, 2009) dalam bukunya Filsafat Cinta menjelaskan bahwasanya
cinta itu adalah sebuah aktivitas aktif yang dilakukan oleh manusia terhadap
objek lain, hal tersebut dapat berupa pengorbanan diri, rasa empati, kasih
sayang dan perhatian, rasa ingin membantu, memiliki kepatuhan serta menuruti
perkataan atau bersedia melakukan apapun yang diinginkan oleh objek yang
dicintai tersebut. Dalam konteks ini cinta mampu mempengaruhi serta memberikan
perubahan yang luar biasa bagi yang sedang mencintai. Cinta tidak terlepas juga
dari hakikat manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan orang
lain dalam melangsungkan kehidupannya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Marsel
dalam (Dagun, 1990) bahwa manusia tidak akan mampu untuk bertahan hidup dengan
sendirian, manusia selalu melibatkan orang lain dalam kehidupannya. Dengan
demikian cinta memiliki peranan yang sangat penting dalam aspek kehidupan
manusia. Cinta mampu merekatkan manusia yang satu dengan yang lainnya dalam
bingkai keharmonisan serta kasih sayang. Tanpa adanya cinta yang dimiliki oleh
manusia maka kasih sayang itu tidaklah berwujud. Pengungkapan tentang hakikat
dan makna cinta dewasa ini semakin lebih kompleks dalam perkembangannya. Bahkan
kita dapat jumpai dalam kehidupan modern, banyak terlahir para penyair serta
pujangga cinta yang berusaha mengungkapkan tentang cinta kepada dunia. Tidak
terkecuali juga seorang tokoh yang bernama Erick Fromm dengan latar belakangnya
seorang psikiater, turut andil dalam mendiskusikan tentang cinta. Cinta menurut
Erick Fromm dalam (Maharani, 2009) adalah sebuah seni untuk memahami sebuah
teori serta praktik, dalam artian untuk dapat mencintai seseorang maka perlu
untuk mempelajari teori serta praktik dengan memadukannya keduanya menjadi satu
kesatuan yang terpadu sebagai sebuah intuisi. Penelitian yang dilakukan oleh
Lee dalam (Surijah et al., 2019) menjelaskan bahwa konsep cinta dapat terbagai
dalam beberapa sub aspek. Pertama, adalah Eros yakni cinta yang sifatnya
menggebu-gebu dan penuh hasrat. Kedua adalah Ludus yaitu tipe cinta yang kompetitif
serta memandang sebuah hubungan sebagai permainan yang harus dimenangkan.
Ketiga adalah Storge yakni tipe cinta yang tumbuh dari persahabatan maupun
minat yang serupa. Keempat adalah Pragma yang memandang hubungan dari sisi
pragmatis (praktis) untuk mencapai tujuan bersama. Kelima adalah Mania tipe
cinta yang obsesif dan yang terakhir adalah Agape adalah tipe cinta yang
didasari oleh komitmen, selflessness, dan kemauan untuk berkorban. Lebih lanjut
Chapman dalam (Surijah et al., 2019) yang menjelaskan lima hal utama yang
membuat orang tersebut merasa dicintai yakni 1) mendapatkan pujian (word of
affirmation), 2) menghabiskan waktu bersama dengan pasangan (quality time), 3)
mendapatkan bantuan dari pasangan (acts of service), 4) memperoleh hadiah (receiving
gift) dan 5) menerima sentuhan fisik (physical touch). Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Chapman tersebut bahwa kelima bahasa cinta ini semestinya ada
di dalam pasangan yang sedang mencintai maupun dicintai. Dengan kelima bahasa
cinta ini yang selalu ditumbuhkan maka sebuah kehangatan dan kenyamanan dalam
menjalin sebuah ikatan cinta akan menjadi harmonis serta berkelanjutan, karena
didasarkan pada setiap pasangan yang selalu memberikan sebuah kebahagiaan
kepada pasangannya.
Al-Ghazali menjelaskan cinta
sebagai inti keberagamaan yang menjadi awal dan akhir dari sebuah perjalanan
manusia (Rakhmat, 2001). Abraham Maslow dalam (Loka & Yulianti, 2019)
memformulasikan konsep cinta dalam sebuah piramida atau hierarki kebutuhan pada
urutan ketiga setelah kebutuhan fisiologis dan rasa aman. Menurut Maslow
apabila kebutuhan fisiologis dan rasa aman telah terpenuhi, maka kebutuhan
berikutnya adalah kebutuhan akan cinta dan kasih sayang dan berlanjut dengan
rasa ingin memiliki dan dimiliki. Cinta juga berkaitan dengan hubungan kasih
sayang yang sehat dan mesra antara dua orang yang diiringi dengan sikap saling
percaya serta kegiatan memberi dan menerima. Iqbal menjelaskan konsepsi cinta
sebagai sumber hidupnya manusia, baginya cinta mampu menyingkirkan banjir datang
melandai, sebab cinta adalah air pasang mengalun, yang menundukkan topan dan
badai. Singkatnya cinta menurut Iqbal adalah spirit atau dasar kehidupan
manusia (Suprapto, 2016). Seorang filsuf Yunani bernama Plato meyakini bahwa
cinta adalah keindahan dan melahirkan keindahan (Wariati, 2020). Mirip dengan
Plato, Lauren Slater dalam (Gunawan, 2018) menjelaskan bahwa jatuh cinta adalah
pengalaman akan eros. Eros adalah pengalaman akan keindahan dalam relasi
laki-laki dan perempuan. Setiap pengalaman tentang eros harus dihidupi dalam
cara yang mudah menciptakan sebuah ketertarikan yang terarah kepada segala
sesuatu yang indah. Pengalaman itu menyentuh jiwa yang sangat dalam. Akibat
sentuhan itu, jiwa digerakkan untuk mengarahkan diri kepada keindahan yang dialaminya.
Jiwa yang tergerak oleh pengalaman eros tersebut menjadi penuh dengan energi.
Hal inilah yang menyebabkan orang yang jatuh cinta menjadi tergila-gila.
Berbeda dengan pandangan di atas seorang tokoh eksistensialis Jean-Paul Sartre
justru memandang sebuah cinta sebagai hal yang menimbulkan konflik, sifatnya
paradoks. Bagaimana mungkin cinta abadi itu ada, justru cinta menurut Sartre
adalah sebuah penipuan yang menyebabkan kita dapat menjadi objek dalam
perbudakan cinta tersebut. Hal ini menjadi sebuah pergulatan ideologi dalam
memahami cinta itu sendiri. Dalam satu sisi memandang cinta itu sebagai
anugerah, namun dalam pandangan Sartre sendiri cinta itu menimbulkan konflik.
Pernyataan dari Sartre perihal cinta tidak terlepas dari filsafat eksistensialisme
yang dianutnya. Filsafat eksistensialisme ini lebih menekankan eksistensi yang
mendahului esensi. Dengan demikian penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji
lebih mendalam mengenai hakikat cinta dalam pandangan Jean-Paul Sartre serta
latar belakang pandangan Sartre tentang cinta tersebut.
Cinta semenjak dahulu dianggap
sebagai realitas kebajikan karena hakikatnya yang luhur dan meliputi segala
sesuatu (Muthahhari, 2020). Namun, ada juga pihak yang menyamakan cinta dengan
libido, dengan intensitas metabolis naluri seksual. Mereka cenderung untuk
berasumsi bahwa cinta tidak dapat disublimasi dalam istilah-istilah Ilahiah.
Mereka beranggapan bahwa asal mula cinta tidak terkait dengan hal-hal yang bersifat
spiritual, cinta tidak pula berarti harus manusiawi dan tidak pula bertujuan
untuk kemanusiaan. Termasuk tokoh eksistensialis Jean-Paul Sartre yang memiliki
gayanya tersendiri untuk mendefinisikan istilah dan makna cinta itu. Memahami
esensi filsafat cinta dari Sartre tidak bisa dimengerti tanpa mengkaitkannya
dengan perjalanan hidup dari Jean-Paul Sartre itu sendiri. Dalam memahami
hakikat cinta, jiwa serta kemanusiaan Sartre memiliki kisah kedekatannya dengan
Simone de Beauvoir serta menjadi pasangan tanpa keterikatannya dengan ikatan
cinta, anak serta secara bebas mencintai seseorang dengan transparan.
Singkatnya adalah antara Sartre dan Simone ini adalah pasangan yang kumpul
kebo. Dalam (Sultani et al., 2021) menjelaskan bahwa kisah cinta Sartre dan
Simone termasuk dengan Bianca Bienefield Lamblin, Olga Kosakiewics dan Wanda
Kosakiewics membentuk percintaan sebagai drama emosional yang menyebabkan
korban dari Sartre mengidap maniaco depressive mental atau penyakit susah
melupakan yang berlangsung bertahun-tahun. Drama percintaan Sartre yang begitu
ribet menyebabkan Sartre meletakkan gagasannya mengenai cinta, jiwa dan
kemanusiaan. Bagi Sartre orang yang mencintai pada hakikatnya ingin memiliki
dunia orang yang dicintai melalui penguasaan jiwa, dan ini menurut Sartre
adalah bentuk pengejewantahan kemanusiaan manusia untuk eksis di dunia nyata
dan dunia maya. Mengobjekkan cinta dan meminta menyerahkan dunia serta dirinya
secara “bulat-bulat” adalah kondisi sebagai “terjebak pada dunia orang lain”
atau “benda bagi orang lain”. Hal ini jelas merupakan suatu yang nausea
(memuakkan) dalam cinta yang tumbuh di dalam jiwa manusia sebagai bentuk
kemanusiaan manusia mencintai sesama manusia. Alih-alih kamu ingin mencintai
seseorang dengan mempertahankan kemerdekaanmu sendiri, tetapi kamu tidak berani
memberikan kemerdekaan yang utuh pada pasanganmu dengan mengekang
(overprotected) dan malah berselingkuh dengan orang lain yang notabene sebagai
sang penggoda dan menyalahi komitmen awal untuk saling terikat dalam janji
suci, itu adalah topeng berbulu serigala yang berusaha memikat untuk jatuh
kepangkuannya menggunakan bahasa-bahasa romantik nan menggelikan (Sultani et
al., 2021). Manusia adalah makhluk yang hidup di tengah-tengah dunia dengan
orang lain, ini merupakan suatu hal yang tak dapat dihindari. Maka dalam hidup,
di tengah-tengah manusia lain, dia mengenal cinta. Sartre memandang cinta dalam
kaitan dengan ontologi kebebasan manusia. Sartre pun menyadari bahwa dalam
hidup sehari-hari, manusia itu mengenal cinta. Akan tetapi selanjutnya dia
menarik suatu pandangan, cinta adalah penipuan diri sendiri. Cinta adalah
penipuan diri, karena dia hanya sebuah siasat licik untuk mendominasi kebebasan
orang lain secara halus, suatu muslihat terselubung. Pesimisme Sartre itu
karena memandang “The other is hidden death of my possibilities in so far as I
live that death as hidden in the midst of the world”. Cinta tidak akan puas
hanya dengan suatu perjanjian dari pihak lain. Cinta lebih dari itu, dia ingin
memiliki seluruh diriku, bukan hanya motivasi saja. Pemikiran itu bersifat
khusus, yaitu memiliki kebebasan, atau “he wants to proses a freedom as
freedom” (Muzairi, 2002). Cinta ideal menurut pandangan Sartre adalah tidak
mungkin, kalau tampilannya orang lain itu mengancam eksistensiku. Mana mungkin
cinta itu ada, jika konflik merupakan makna dasar hubungan antar manusia.
Lebih-lebih dikatakan Sartre “Hell is….other people” dan ini menurut anggapan
Sartre merupakan suatu hal yang mematikan terhadap kemungkinan-kemungkinanku
(Muzairi, 2002). Sartre memandang cinta itu hanyalah sebagai konflik,
argumennya ini didasarkan bahwa manusia atau orang lain itu adalah neraka
baginya. Neraka dalam artian ketika orang lain memandang aku, maka aku dalam
pandangan mereka sebagai objek, dan ini tentu menghalangi eksistensinya,
membuat manusia menjadi tidak bebas untuk melakukan apa yang dikehendaki.
Begitu juga dengan cinta, bagi Sartre ketika mencintai seseorang maka aku
menjadi objek dari orang yang aku cintai, begitu juga sebaliknya, dan aku
menjadi tidak bebas karena aku berada dalam dunia orang lain. Begitu pula
dengan orang yang sedang jatuh cinta, mereka selalu merindukan persatuan yang
sempurna. Kapan dan di mana pun orang yang sedang jatuh cinta selalu
menginginkan kebersamaan dengan sang kekasih. Mereka tak ingin berpisah bahkan
satu detik pun. Tak ada satu hal pun yang dapat memisahkan mereka, mereka akan
berjuang mati-matian untuk menyingkirkan apa yang menghalanginya. Mereka yang
jatuh cinta terperangkap oleh keinginan yang sangat kuat untuk menyatu satu
sama lain yang tidak mungkin, seolah-olah mereka masing-masing menginginkan
seluruh badan (orang yang dicintai), diserap dalam pribadi lain (orang yang
mencintai). Usaha untuk penyatuan cinta yang sempurna ini dapat terganggu oleh
relasi lain, dengan inilah muncul istilah ‘cemburu’, dan ini sangat mengganggu
eksistensi manusia yang sedang dicintai dan mencintai tersebut. Ia selalu
menjadi objek. Hal inilah yang mendasarkan pendapat Sartre bahwa cinta itu
hanya membawa konflik dan mengganggu eksistensi manusia, manusia menjadi tidak
autentik (tidak menjadi dirinya sendiri) karena cinta ini.
REFERENSI/SUMBER
Siswadi, G. A. (2023). Cinta dalam Perspektif Filsafat Eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Sanjiwani: Jurnal Filsafat, 14(1), 1-12.Bakker, Anton., & Zubair, A. Charris. (1990). Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius. Dagun, S. M. (1990). Filsafat Eksistensialisme. Jakarta: Rineka Cipta. Gunawan, L. A. S. (2018). Problematika Jatuh Cinta: Sebuah Tinjuan Filosofis. Logos, Jurnal Filsafat-Teologi, Vol. 15, N, 1–30. Lavine, T. Z. (2020). From Socrates to Sartre: The Philosophic Quest. Diterjemahkan oleh Andi Iswanto dan Deddy Andrian Utama. Yogyakarta: Immortal Publishing dan Octopus. Loka, M. P., & Yulianti, E. R. (2019). Konsep Cinta (Studi Banding Pemikiran Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dan Erich Fromm). Syifa Al-Qulub, 3(2), 72–84. Maharani, S. (2009). Filsafat Cinta. Yogyakarta: Garasi. Muthahhari, M. (2020). Filsafat Seksualitas dalam Islam, Etika Seksual Islam dan Barat: Cinta, Kebebasan Seksual Baru dan Kesucian. Diterjemahkan oleh Mustajib. Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute. Muzairi. (2002). Eksistensialisme Jean-Paul Sartre: Sumur Tanpa Dasar Kebebasan Manusia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Nugroho, W. B. (2013). Orang Lain adalah Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rakhmat, J. (2001). Meraih Cinta Ilahi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sartre, J. P. (2018). Eksistensialisme dan Humanisme. Diterjemahkan oleh Yudhi Murtanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sartre, J. P. (2019). Seks dan Revolusi. Diterjemahkan oleh Silvester G. Sukur. Yogyakarta: Narasi. Siswanto, D. (1997). Kesadaran dan Tanggung Jawab Pribadi Dalam Humanisme Jean-Paul Sartre. Jurnal I-Lib UGM, 1(1), 8. Siswanto, J. (1998). Sistem-Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles sampai Derrida. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sultani, Z. I. M., Fauzan, W. H., Anastasia, M. S., & Faradita, S. (2021). Bucin (Budak Cinta) dalam Perspektif Eksistensialisme Jean-Paul Sartre.
www.academia.edu/44980522/Budak_Cinta_dalam_Pandangan_Eksisten
sialisme_Jean_Paul_Sartre Suprapto, R. (2016). Filsafat Cinta Muhammad Iqbal.
Jurnal Theologia, 25(1), 223–244. https://doi.org/10.21580/teo.2014.25.1.345
Surijah, E. A., Sabhariyanti, N. K. P. D., & Supriyadi, S. (2019). Apakah
Ekspresi Cinta Memprediksi Perasaan Dicintai? Kajian Bahasa Cinta Pasif dan
Aktif. Psympathic : Jurnal Ilmiah Psikologi, 6(1), 1–14.
https://doi.org/10.15575/psy.v6i1.4513 Suseno, F. Magnis., Wibowo, A. Setyo.,
Lanur OFM, Alex., Supriyono, J., Tjahjadi, S. P. Lili., Muniroh, Sayyidati.,
Tjaya, T. Hidya., & Nugroho, I. Prajna. (2011). Filsafat Eksistensialisme
Jean-Paul Sartre (R. Sani. Wibowo, A. Yanulian. Tri Utomo, Triyudo. B. C., H.
Harry. Setianto Sunaryo, B. Beatus. Wetty, Ag. Wahyu. Dwi Anggoro, L.
Kristianto. Nugraha, & V. Eko. Anggun Sugiyono, Eds.). Yogyakarta:
Kanisius. Wariati, N. L. G. (2020). Cinta dalam Bingkai Filsafat. Sanjiwani:
Jurnal Filsafat, 10(2), 112. https://doi.org/10.25078/sjf.v10i2.1506 Weij, P.
A. Van der. (2018). Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Diterjemahkan oleh K.
Bertens. Jakrta: PT. Gramedia Pustaka Utam
Komentar
Posting Komentar